Manisnya Gula, Pahitnya Korupsi: Menguak Mafia di Balik Industri Gula Indonesia

Nasional, Opini77 Dilihat
banner 468x60

TKP News, Nasional – Industri gula nasional kembali tercoreng oleh skandal korupsi yang menggerogoti harapan kemandirian pangan.

Proyek modernisasi Pabrik Gula Djatiroto di Jawa Timur, yang semula diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan menekan impor, justru berujung mangkrak dan merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

banner 336x280

Kasus ini mencuat setelah Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri mengungkap adanya dugaan korupsi senilai Rp782 miliar.

Skandal ini menyeret dua mantan petinggi PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) sebagai tersangka, yakni Dolly Pulungan (mantan Direktur Utama) dan Aris Toharisman (mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis).

Ambisi Modernisasi yang Berakhir Mangkrak

Pada tahun 2016, pemerintah menggulirkan proyek modernisasi Pabrik Gula Djatiroto melalui skema Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC).

Dengan dukungan dana Rp400 miliar dari Penyertaan Modal Negara (PMN) serta kredit ratusan miliar dari Bank BRI dan PT Sarana Multi Infrastruktur, proyek ini diharapkan mampu menghidupkan kembali kejayaan industri gula nasional.

Namun, proyek ini tidak berjalan sesuai rencana. PTPN XI menunjuk konsorsium KSO HEU—gabungan PT Hutama Karya, PT Eurroasiatic, dan Uttam Sucrotech PVT.LTD—untuk melaksanakan pembangunan.

Alih-alih selesai tepat waktu, proyek tersebut justru mangkrak meskipun hampir 90 persen dana telah dicairkan.

Investigasi mengungkap adanya penggelembungan anggaran, penyimpangan kontrak, serta dugaan suap dalam pelaksanaan proyek.

Beberapa peralatan impor yang digunakan bahkan tidak sesuai spesifikasi, dan pembayaran dilakukan sebelum pekerjaan selesai.

“Dana sudah keluar, tapi pabriknya tak kunjung selesai,” ujar seorang penyidik Kortas Tipikor.

Mafia Gula: Menguasai Pasar dan Merugikan Rakyat

Kasus ini semakin menegaskan bahwa korupsi di sektor gula bukanlah masalah baru. Dari permainan kuota impor hingga kebijakan yang menguntungkan segelintir elite, korupsi telah mengakar kuat.

Mafia gula tidak hanya menguasai jalur impor, tetapi juga memonopoli produksi lokal, membuat harga gula di pasar tetap tinggi meski impor membanjir.

Ironisnya, petani tebu lokal justru semakin terjepit dalam situasi ini.

Pemerintah yang seharusnya melindungi dan memberdayakan justru memberikan akses kepada pihak-pihak berkepentingan yang memiliki kuasa politik dan modal besar.

Akibatnya, keadilan ekonomi pun sirna, tergilas oleh kerakusan elite yang mengorbankan kesejahteraan rakyat.

Menghancurkan Sistem Korup atau Terus Jadi Korban?

Selama politik tetap berbiaya tinggi, mafia komoditas akan terus memainkan peran dominan.

Selama investasi politik mendikte kebijakan, izin impor selalu diberikan kepada mereka yang punya akses, bukan yang berkompeten.

Selama korupsi masih dianggap wajar, rakyat akan terus menjadi korban dari praktik busuk yang menyengsarakan.

Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi? Sudah saatnya menghancurkan sistem korup yang menjadikan rakyat hanya sebagai sapi perah bagi elite serakah.

Tanpa reformasi yang tegas dan nyata, keadilan ekonomi akan terus menjadi ilusi yang sulit diwujudkan.

Oleh: Renaldi Davinci

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *